Jumat, 19 September 2014

PAKAIAN TRADISIONAL LAMPUNG

Lampung adalah salah satu provinsi di Pulau Sumatera bagian Selatan. Wilayahnya sendiri berbatasan langsung dengan provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu dan Selat Sunda. Masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang berasal dari beragam suku di Indonesia. Hal ini karena Lampung adalah salah satu daerah tujuan transmigrasi. Kondisi masyarakat Lampung kekinian yang heterogen tidak membuat provinsi ini kehilangan jati diri atau identitas kedaerahanya. Lampung memiliki beragam kebudayaan daerah yang masih bertahan sampai saat ini. Lampung juga memiliki masyarakat asli etnis Lampung yang dikenal dengan Ulun Lampung (orang lampung). Masyarakat suku ini mendiami seluruh wilayah Lampung, sebagian Sumatera Selatan dan Bengkulu bahkan sampai ke Pantai Cikoneng Banten.Masyarakat Ulun Lampung merupakan etnis asli Lampung yang berasal dari dataran tinggi Sekala Brak yang merupakan puncak tertinggi di wilayah Lampung. Beragam kebudayaan daerah asli Lampung pun merupakan kebudayaan asli dari suku ini.
Masyarakat Ulun Lampung adalah penghasil berbagai kerajinan tradisional, salah satu yang paling popular adalah Kain Tapis Lampung. Kain Tapis Lampung merupakan kain sarung yang terbuat dari tenunan benang kapas yang dihiasi dengan motif sulaman dari benang sugi, benang perak atau benang emas. Selain menjadi hasil kerajinan khas lampung, kain ini juga menjadi bahan dasar dari pakaian adat lampung. Kain ini mencirikan kekhasan orang Lampung, sehingga selalu dipakai sebagai kelengkapan pakaian adat Lampung.
Pakaian adat Lampung sendiri terdiri dari bebarapa komponen. Untuk para kaum lelaki, pakaian terdiri dari ikat kepala (kikat) atau kopiah, kawai sebagai penutup badan yang terbuat dari bahan kain tetoron atau belacu berwarna terang tapi sekarang sudah mengalami modifikasi menjadi berbentuk kemeja (kamija) yang disebut dengan kawai kamija. Untuk menutupi bagian bawah dikenakan senjang yaitu kain yang dibuat dari kain Samarinda, Bugis atau Batik Jawa. Namun, sekarang lebih banyak digunakan celana (celanou) sebagai pengganti senjang. . Untuk mempererat ikatan kain (senjang) dan celana di pinggang laki-laki digunakan bebet (ikat pinggang). Laki-laki Lampung biasanya menggunakan selikap atau kain selendang yang dipakai untuk penahan panas atau dingin yang dililitkan di leher. Kelengkapan busana ini biasa digunakan pada saat acara-acara resmi seperti pernikah dan acara adat. Sementara untuk sehari-hari para lelaki hanya menggunakan ikat kepala (kikat).
Untuk pakaian adat tardisional kaum perempuan Lampung terdiri dari lawai kurung sebagai penutup badan yang berbentuk seperti baju kurung dan terbuat dari bahan tipis atau sutera di tepi muka serta lengannya dihiasi rajutan renda halus. Untuk menutupi bagian bawah para wanita juga menggunakan senjang atau cawol (kain tapis) serta setagen untuk mempererat ikatan. Sebagai kain dikenakan senjang atau cawol, sedangkan wanitanya menggunakan setagen. Kaum perempuan biasanya melengkapi penampilannya dengan menyanggul rambutnya (belatung buwok). Keunikan dari sanggul ini terdapat pada cara menyanggul rambut ini yang dilakukan dengan merajut benang hitam halus untuk melilit rambut asli yang disatukan dengan rambut tambahan kemudian ditusuk dengan bunga kawat atau kembang goyang. Sementara sebagai pakaian keseharian perempuan lampung hanya menggunakan kanduk/kakambut atau kudung yang dililitkan di kepala, bahannya terbuat dari kain sutera. Kain ini juga bisa digunakan untuk menggendong bayi.
Khusus dalam upacara perkawinan, pakaian yang dipakai pengantin perempuan adalah kebaya (kebayou) yang terbuat dari kain beludru dengan motif sulaman benang emas dan senjang (atau cawol) yang terbuat dari kain tapis berhiaskan sulaman benang emas dengan hiasan siger. Sedangakan sebagai aksesoris dikenakan siger yang terbuat dari lempengan kuningan dengan berhiaskan rangkaian bunga. Siger ini berlekuk ruji tajam, jumlahnya sembilan lekukan di depan dan di belakang (siger tarub) dalam setiap lekukan terdapat hiasan bunga cemara dari kuningan (beringin tumbuh). Di puncak siger terdapat hiasan serenja bulan atau kembang hias yang menyerupai mahkota berjumlah satu sampai tiga buah yang memiliki lengkungan yang beruji tajam dan bagian atasnya berhiaskan bunga. Badan pengantin pun ditutupi lagi dengan sesapur, yaitu baju kurung bewarna putih, baju ini tidak berangkai pada sisinya dan di tepi bagian bawah berhias uang perak yang digantungkan berangkai (rambai ringgit). Kain yang dipakai adalah kain tapis dewo sanow (kain tapis dewasana). Kain ini terbuat dari bahan katun bersulam emas dengan motif tumpal atau pucuk rebung. Pinggang mempelai wanita dilingkari bulu serti atau sejenis ikat pinggang yang terbuat dari kain beludru berlapis kain merah. Bagian atasnya berhiasakan kuningan yang berbentuk bulatan kecil-kecil. Di bawah bulu serti dikenakan pending, yaitu ikat pinggang dari uang ringgitan Belanda yang di bagian atasnya bergambar ratu Wihelmina. Aksesoris lainnya adalah mulan temanggal atau kalung yang berbentuk tanduk ntanpa motif terbuat dari kuningan, uang Arab dinar di gantungkan di atas sesapur tepat di atas perut yang dikaitkan dengan penitik, kemudian buah jukum yaitu hiasan berbentuk buah-buah kecil di atas kain yang dirangkai menjadi kalung untaian bunga dan dipakai melingkar mulai dari bahu ke bagian perut sampai ke belakang, serta gelang burung yang dipakai pada kedua lengan atu bahu, di bagian atas direkatkan bebe, yaitu sulaman kain halus yang berlubang-lubang dan gelang kana yang dipakai di lengan atas dan bawah. Sementara pengantin laki-laki memakai kopiyah mas sebagai mahkota, berbentuk bulat ke atas dengan ujung beruji tajam. Bahannya sendiri terbuat dari kuningan dengan hiasan karangan bunga. Badan pengantin pria ditutup dengan sesapur warna putih berlengan panjang. Bagian bawah ditutup dengan celanou (celana) panjang dengan warna sama dengan warna baju. Pada pinggang dibalutkan tapis bersulam benang emas penuh diikat dengan pending, bagian dada dilibatkan selendang sutra yang disulam dengan benang emas membentuk silang limar. Perlengkapan lain yang menghiasi pengantin pria sama seperti yang dikenakan oleh mempelai wanita.
Setiap kebudayaan yang ada dan berkembang di setiap daerah pasti memiliki nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, begitupun pakaian adat Lampung. Dalam pemakaian baju adat Lampung penggunaan kain tapis menjadi bagian paling penting yang tidak boleh terlewatkan. Hal ini adalah sebagai bentuk manifestasi keluhuran adat istiadat masyarakat ulun lampung yang dicirikan dengan kain tapis sebagai bentuk kearifan local. Selain itu, kain tapis juga mengandung nilai filosofis yang kuat pada setiap motifnya. Secara umum, kain tapis menyimbolkan kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran. Hal lain yang tergambar dari kesatuan motif kain tapis adalah lambang dari kebesaran pencipta alam. Dalam seiap motif kain tapis selalu digambarkan keindahan alam semesta berupa flora atu fauna. Dengan begitu, para pemakainya dapat merenungi dan mengakui kebesaran Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini. Tidak hanya kain tapis, komponen lain dalam kelengkapan pakaian adat lampung juga memiliki falsafah tersendiri. Seperti siger yang dipakai oleh pengantin perempuan di kepala yang melambangkan kehormatan dan kebesaran adat. Mahkota ini juga bermakna penghormatan terhadap harkat derajat kaum wanita. Dalam baju adat Lampung, perempuan dicitrakan sebagai sosok yang dihormati, lemah lembut, berkepribadian baik juga santun dan hormat pada kaum laki-laki. Begitupun laki-laki, karakter keperkasaan dan keberanian laki-laki juga tergambar dari kelengkapan busana laki-laki. Jiwa kepemimpinan laki-laki tergambar melalui penutup kepala yng melambangkan keteguhan dan kecerdasan dalam berpirkir.
Sampai saat ini, pakaian adat lampung masih digunakan oleh masyarakat lampung ataupu masyarkat pendatang dalam acara-acara sacral seperti resepsi pernikahan. Sebagian masyarakat ulun lampung juga menggunakannya dalam acara-acara adat yang digelar. Pakaian adat ini juga mengalami banyak modifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini tidak mengapa, asalkan pengembangan ataupun modifikasi tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai sacral yang terkandung di dalam pakaian adat Lampung.
(sumber : http://kebudayaanindonesia.net) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar